Bapak Ferdi Levi adalah salah satu guru saya di SMAK Syuradikara. Beliau mengajar kami di akhir-akhir masa pensiunnya, Juni – Oktober 2008. Pak Levi, sebagaimana beliau disapa di Syuradikara, saat itu mengampu mata pelajaran Mulok yang saat ini dikenal sebagai Seni Budaya.
Secara fisik beliau masuk kategori “ganteng dari Tuhan”, tubuhnya tinggi, punya postur atletis, berkulit eksotis, dan memiliki hidung mancung. Ketampanan fisik ini disempurnakan oleh kemampuan musiknya. Siapa yang tidak kenal Fredi Levi, sang maestro?
Sebagai anak kampung, rasanya bangga sekali bisa menjadi murid beliau.
Saya ingat sekali, di salah satu hari saat les Mulok, beliau bertanya kepada saya; “Nona dari mana?” Saya menjawab beliau bahwa saya berasal dari Wolorowa. Beliau sangat excited ketika mengetahui asal saya dan mengatakan bahwa ada cerita yang sangat terkenal tentang seorang koster di kapela Wolorowa. Beliau menceritakan bahwa pada kesempatan sebelum momen hari raya, pastor paroki memberikan pengakuan kepada umat di Kapela Wolorowa. Sang koster menyiapkan santap siang untuk pastor. Ia memasak RW anjing. Saat hendak mencampurkan bumbu beliau merasa sedikit galau antara memasukkan lombok atau tidak. Ia harus segera memastikan kepada Pastor. Namun, saat itu sang pastor sedang memberikan pengakuan dan antrean umat cukup panjang. Setelah melalui negosiasi bersama umat yang mengantre, sang koster akhirnya masuk antrean dan langsung berada paling depan. Saat gilirannya tiba, sang koster maju menghadap pastor dan mengambil sikap berlutut seolah-olah hendak mengaku. Sesaat setelah menerima berkat dan membuat tanda salib sang koster berkata, “Tua, hui lako go’o Tua sapo dengan lombo atau tida _ Pastor, daging anjingnya Pastor, campur dengan lombok atau tidak? Sang Pastor menjawab, “Sapo dengan lombok.” Pastor lalu memberi berkat dan setelah membuat tanda salib sang koster kembali ke dapur dan sapo daging anjing dengan lombok. Kami semua tertawa mendengar cerita ini. Sejak saat itu beliau memanggil saya “sapo lombo”.
Saat liburan saya mengonfirmasi kebenaran cerita ini kepada Bapak Kecil saya, Rd. Stefanus Wolo Itu. Beliau menceritakan bahwa Pak Levi juga menceritakan hal yang sama kepada beliau, yang selalu direspons dengan pertanyaan, “Dema iwa e” dari Bapak Romo. Pastor yang diceritakan adalah Pater Donkers dan sang koster adalah Bapak Paulus Gale. Bapak Paulus Gale adalah ayah dari Bapak Martinus Muga, teman kelas Bapak Levi saat di seminari. Mengetahui fakta ini, maka besar kemungkinan bahwa cerita ini ada sebagai bahan baku de’i antar teman.
Terima kasih Bapak Levi, sudah mengajarkan bahwa persahabatan itu abadi.
Selamat jalan Bapak Levi. Santa Sisilia mengatakan bahwa bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali. Engkau tidak hanya bernyanyi dengan baik, tetapi lebih dari itu memampukan orang bernyanyi dengan baik dan mewariskan lagu-lagu yang baik untuk dinyanyikan oleh semua orang.
Tuhan menerima di surga.
(Yustina Mogi)
Guru dan Pendidik di SMA Swasta Katolik Syuradikara
Kommentare