Oleh: Kristianus Riberu*
Perjumpaan selalu menghadirkan realitas baru, di mana dua atau lebih individu bertemu. Bertemu dengan yang lain apalagi didorong dengan kehendak baik ada potensi untuk belajar sesuatu yang baru, membentuk hubungan yang bermakna dan mendapatkan inspirasi. Dalam perjumpaan interaksi antara individu menjadi kunci. Interaksi individu bisa berupa senyum, pertukaran kata, juga doa lewat pandangan mata. Dalam perjumpaan memiliki potensi untuk mendatangkan berkat, membangun hubungan baru, memotivasi bahkan menghidupkan yang “mati”. Bandingkan kisah perjumpaan murid dengan Yesus di danau Tiberias. Para murid lelah karena semalaman tidak mendapat tangkapan ikan. Yesus hadir dan berkata “tebarkan jalanmu…” seketika itu mereka tidak dapat menariknya karena banyaknya ikan. Perjumpaan yang membawa harapan baru, perjumpaan yang membawa transformasi iman, dari sikap putus asa lahir harapan, dari kecemasan lahir kegembiraan dan sukacita.
Tentang wanita asal Bandung di Ruang Tunggu Bandara Labuan Bajo. Tasya, nama manisnya. Cantik rupanya. Wanita kelahiran Bandung. Saya berjumpa dengannya di ruang tunggu bandara kota premium itu, sebuah tempat yang jauh dari rumah, jauh dari keluarga, jauh dari pusat keramaian seperti di Jakarta. Pertemuan di ruang tunggu bandara, sebuah tempat sementara, persinggahan sesaat pada perjalanan ini mengingatkan saya tentang ketidakpastian hidup. Kita bertemu orang-orang dalam sekejap, dalam momen singkat seperti itu terkadang justru menyisakan kesan yang mendalam.
Dalam spiritualitas perjumpaan, pertemuan seperti ini bisa dilihat sebagai momen di mana energi dan jiwa saling bertukar. Pertemuan tersebut mungkin saja bukan kebetulan, melainkan sebuah panggilan untuk saling berbagi pengalaman hidup, cerita, atau bahkan kebijaksanaan. Ada sesuatu yang bisa dipelajari dari setiap orang yang kita temui, bahkan dalam pertemuan singkat sekalipun.
Hemat saya, ruang tunggu di bandara bukan hanya tempat untuk menunggu penerbangan berikutnya, tetapi bisa menjadi ruang kontemplasi, ruang doa. Di sana, kita berada dalam transisi, antara satu tempat dan tempat lain, antara satu pengalaman hidup dan pengalaman berikutnya. Di ruangan itu semua berharap agar perjalanan ke tempat berikutnya aman dan lancar. Di ruangan itu rindu mendapatkan tempat, untuk menemukan jalan pulang. Ya, pulang ke rumah. Pertemuan dengan Tasya mungkin saja mengingatkan saya akan pentingnya menghargai setiap momen dan setiap individu yang hadir dalam hidup kita, karena setiap pertemuan bisa membawa perubahan dan pertumbuhan spiritual. Mungkin kita tidak tahu seberapa besar dampak yang bisa ditimbulkan dari pertemuan singkat, tetapi dengan membuka hati dan pikiran, kita bisa menangkap pesan-pesan spiritual yang tersirat di dalamnya.
Pertemuan di ruang tunggu Bandara Labuan Bajo itu ternyata bukan sekadar pertemuan biasa. Berawal dari sapaan ringan tentang waktu penerbangan dan rute perjalanan, Tasya wanita kelahiran Bandung yang duduk di sebelah saya, tampak asyik memandangi foto-foto di kamera digitalnya. Ketika saya bertanya: “Bagaimana Bajo?”, ia dengan lembut tersenyum dan menunjukkan beberapa gambar yang telah ia ambil selama perjalanannya di Labuan Bajo.
Foto-foto itu menampilkan pemandangan alam yang indah: perbukitan hijau, laut biru yang tenang, dan senja yang memerah di cakrawala. Namun, ada sesuatu yang lain dalam kata yang diucapkan, sesuatu yang mengusik, yang mengaburkan keindahan alam yang seolah sempurna itu.
"Ini adalah Bajo," kata Tasya dengan suara rendah. "Tempat yang indah, tapi juga penuh luka."
Saya tertegun, bertanya-tanya apa yang ia maksud. Tasya melanjutkan, "Di balik semua kemewahan dunia, resor-resor mewah, kapal-kapal pesiar, dan wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan alam ada komunitas yang terpinggirkan. Orang-orang Bajo yang hidup di rumah-rumah panggung di atas air, yang menggantungkan hidup mereka pada laut, tetapi kini terdesak oleh pembangunan. Begitu banyak bangunan megah dan mewah dikelilingi rumah-rumah usang tanpa harapan. Anak-anak lari memungut rezeki dari setiap tamu tetapi mereka tidak tahu tanah yang mereka pijak akan menjadi tempat yang asing untuk hidup dan masa depan mereka. Ya, Mereka seperti terlupakan, seperti luka yang tersembunyi di tengah kegemilangan dunia."
Tasya menunjukkan beberapa foto lainnya: seorang anak kecil yang bermain di tepi pantai dengan perahu kecil yang lusuh, wajah seorang nelayan tua yang keriput karena terlalu lama terpapar matahari, dan seorang ibu yang menjual ikan di pasar yang sederhana. Foto-foto ini kontras dengan gambar-gambar indah sebelumnya, namun memiliki kedalaman yang lebih menggetarkan.
"Saya memotret Bajo bukan hanya untuk mengabadikan keindahan alamnya," kata Tasya. "Saya ingin mengingatkan diri sendiri dan orang lain bahwa di balik setiap pemandangan yang memukau, ada realitas yang kadang tak terlihat. Ada cerita tentang perjuangan, kehilangan, dan ketidakadilan. Bajo adalah tempat yang menawan, tapi juga penuh luka, dan kita tidak boleh melupakan itu."
Saya terdiam, merenungkan kata-kata Tasya. Pertemuan singkat di ruang tunggu bandara itu menjadi lebih dari sekadar obrolan ringan. Ini adalah pengingat bahwa di balik kemewahan dan keindahan dunia, selalu ada kisah yang lebih dalam, kisah yang menuntut perhatian dan rasa kemanusiaan kita. Tasya, seorang petualang bukan saja “mengeksplorasi” keindahan Bajo tatapi seorang riset yang melihat dan menyuarakan aspirasi kemanusiaan dan alam dari lingkungan di mana ia hidup.
Dalam keheningan yang mengikuti, saya dan Tasya sama-sama menyadari bahwa pertemuan ini telah membawa sebuah pemahaman baru bahwa spiritualitas perjumpaan bukan hanya tentang bertemu dengan orang lain, tetapi juga tentang menyentuh sisi-sisi kehidupan yang sering tersembunyi di balik permukaan, menggali luka-luka yang ada, dan mencari cara untuk menyembuhkannya, bersama. Salam kehidupan, salam perjumpaan.*
*Kepala SMA Swasta Katolik Syuradikara
Comments